بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Setelah keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No.14/PUU-XI/2013 yang dimana merupakan pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 12
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang No.42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa pasal
tersebut mengatur ketentuan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pemilihan
Presiden yang dilaksanakan terpisah. Namun berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi, ketentuan beberapa pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Implikasi dari pembatalan tersebut adalah
dilaksanakannya Pemilihan Umum Nasional Serentak atau Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan dan Pemilihan Presiden dilakukan secara serentak yang dimulai pada
tahun 2019 dan tahun-tahun selanjutnya (Putusan Mahkamah Konstitusi, 2013:
85-87).
Dalam perspektif politik, munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi (2013) tersebut, dapatlah dapatlah ditelusuri melalui penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu legislatif, dimana dalam pemilu tersebut ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.
Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik sehingga dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Untuk itu, penataan sistem pemilu oleh Mahkamah Konstitusi bertujuan agar sistem pemilu lebih baik dan mampu melahirkan presiden dan wakil presiden yang berkualitas, serta mampu menyelesaian persoalan bangsa dan negara. Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Legislatif (Pemilu tidak serentak) telah menyebabkan sistem pemilu dan sistem pemerintahan presidensiil keluar dari rel konstitusi, sehingga untuk mengembalikan hal tersebut pada sistem yang benar menurut konstitusi harus dengan membatalkan beberapa ketentuan Pasal dalam UU Pilpres yang mengatur hal tersebut.
Dalam perspektif politik, munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi (2013) tersebut, dapatlah dapatlah ditelusuri melalui penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu legislatif, dimana dalam pemilu tersebut ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.
Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik sehingga dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Untuk itu, penataan sistem pemilu oleh Mahkamah Konstitusi bertujuan agar sistem pemilu lebih baik dan mampu melahirkan presiden dan wakil presiden yang berkualitas, serta mampu menyelesaian persoalan bangsa dan negara. Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Legislatif (Pemilu tidak serentak) telah menyebabkan sistem pemilu dan sistem pemerintahan presidensiil keluar dari rel konstitusi, sehingga untuk mengembalikan hal tersebut pada sistem yang benar menurut konstitusi harus dengan membatalkan beberapa ketentuan Pasal dalam UU Pilpres yang mengatur hal tersebut.
Sumber :
JURNAL
ILMIAH ILMU PEMERINTAHAN Vol.3, No. 1, 2018, 73-88 “Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019
dalam perspektif politik” Ratnia Solihah
Universitas Padjadjaran, Indonesia hal 77 – 78.
Ditulis Oleh : BEM Fakultas Hukum UPN "Veteran" JATIM ~ BEM FH UPN JATIM
Anda sedang membaca artikel yang berjudul Dampak keputusan MK No. 14/puu-xi/2013 Terhadap Pemilihan Umum serentak 2019. Anda boleh meng-copy sebagian atau penuh isi artikel diatas namun harus meletakan link dibawah ini sebagai sumber artikel yang anda copy.
0 comments:
Post a Comment